Rabu, 06 Januari 2016

SEPUTAR MAKNA BAHASA




SEPUTAR MAKNA BAHASA

Diajukanuntukmemenuhitugasmatakuliah
“IsuKebahasaanKontemporer”











oleh:
                                                        Ferki Ahmad Marlion             21150120000020


DOSEN PEMBIMBING :
Prof. Dr. Aziz Fahrurozi, MA.



PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015





BAB I

PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang Masalah
Bahasa merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan peradaban manusia. Ia senantiasa bergerak dinamis mengikuti setiap perubahan perkembangan zaman. Fungsi utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi antara individu dengan segala sesuatu yang ada disekelilingnya. Sebagai alat komunikasi tentu saja ada suatu maksud yang ingin disampaikan. Untuk mengetahui maksud seorang pengguna bahasa, seseorang harus mengerti makna yang terkandung dalam bahasa yang digunakan tersebut. Namun dalam kenyataannya, sering terjadi perbedaan devinisi makna dari suatu bahasa yang ada. Berangkat dari sisnilah akhirnya lahir sebuah cabang ilmu yang memusatkan perhatiannya pada seputar masalah tentang makna, yaitu semantik.
Dalam analisis semantik juga harus disadari, karena bahasa itu bersifat unik, dan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan masalah budaya maka, analisis suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja, tetapi tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain. Umpamanya, kata ikan dalam bahasa Indonesia merujuk pada jenis binatang yang hidup dalam air dan biasa dimakan sebagai lauk; dan dalam bahasa Inggris separan dengan fish. Tetapi kata iwak dalam bahasa Jawa bukan hanya berarti ‘ikan’ atau ‘fish’, melainkan juga berarti daging yang digunakan sebagai lauk.
Banyak devinisi tentang makna yang dikemukakan oleh pakarnya. Ada yang berpendapat bahwa makna adalah konsep abstrak pengalaman manusia, tetapi bukanlah pengalaman orang per orang (I Dewa Putu Wijaya, Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, 1999). Pendapat lain mengatakan bahwa makna adalah  ‘pengertian’ atau ‘konsep’ yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda linguistik. Makna itu adalah pengertian atau konsep yang dimiliki oleh setiap morfem, baik yang disebut dasar atau morfem afiks (Ferdinand De Sausure, 1989:287)[1].
2.      Rumusan Masalah
A.    Konsep dan pengertian makna.
B.     Batasan Makna.
C.     Jenis- jenis Makna.
D.    Relasi makna.












BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian Makna
Ada dua cabang utama linguistik yang khusus menyangkut kata yaitu etimologi, studi tentang asal usul kata, dan semantik atau ilmu makna, studi tentang makna kata. Di antara kedua ilmu itu, etimologi sudah merupakan disiplin ilmu yang lama mapan (established), sedangkan semantik relatif merupakan hal yang baru.[2]
Kata semantik berasal dari bahasa Yunani sema yang artinya tanda atau lambang (sign). “Semantik” pertama kali digunakan oleh seorang filolog Perancis bernama Michel Breal pada tahun 1883. Kata semantik kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari tentang tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa: fonologi, gramatika, dan semantik (Chaer, 1994: 2).[3]
Pengertian dari makna sendiri sangatlah beragam. Mansoer Pateda mengemukakan bahwa istilah makna merupakan kata-kata dan istilah yang membingungkan. Makna tersebut selalu menyatu pada tuturan kata maupun kalimat.[4]
Menurut teori yang dikembangkan dari pandangan Ferdinand de Saussure, makna adalah ’pengertian’ atau ’konsep’ yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda-linguistik. Menurut de Saussure, setiap tanda linguistik terdiri dari dua unsur, yaitu (1) yang diartikan (Perancis: signifie, Inggris: signified) dan (2) yang mengartikan (Perancis: signifiant, Inggris: signifier). Yang diartikan (signifie, signified) sebenarnya tidak lain dari pada konsep atau makna dari sesuatu tanda-bunyi. Sedangkan yang mengartikan (signifiant atau signifier) adalah bunyi-bunyi yang terbentuk dari fonem-fonem bahasa yang bersangkutan. Dengan kata lain, setiap tanda-linguistik terdiri dari unsur bunyi dan unsur makna. Kedua unsur ini adalah unsur dalam-bahasa (intralingual) yang biasanya merujuk atau mengacu kepada sesuatu referen yang merupakan unsur luar-bahasa (ekstralingual).[5]
Di dalam buku The Meaning of meaning (Ogden dan Richards, 1972:186-187) telah dikumpulkan tidak kurang dari 22 batasan mengenai makna. Bagi orang awam, untuk memahami makna kata tertentu ia dapat mencari kamus sebab di dalam kamus terdapat makna yang disebut makna leksikal. Dalam kehidupan sehari-hari  orang sulit menerapkan makna yang terdapat di dalam kamus, sebab makna  sebuah kata sering bergeser jika berada dalam satuan kalimat. Dengan kata lain setiap kata kadang-kadang mempunyai makna luas. Itu sebabnya kadang-kadang orang tidak puas dengan makna kata yang tertera di dalam kamus. Hal-hal ini muncul jika orang bertemu atau berhadapan dengan idiom, gaya bahasa, metafora, peribahasa, dan ungkapan.
Telah disinggung bahwa inti persoalan yang dikaji di dalam semantik, ialah makna. Lyonsn(1977:400) mengatakan,  ” Semantics may be defined, initially and provisionally, as the study of meaning.” – ilmu yang mengkaji makna. Untuk itu setelah dibahas tentang istilah makna, ada baiknya dikemukakan batasan makna. 
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 2005:619) kata  makna diartikan: (i) arti: ia memperhatikan makna setiap kata yang terdapat dalam tulisan kuno itu, (ii) maksud pembicara atau penulis, (iii) pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan. Telah diketahui bahwa kalau seseorang memperkatakan sesuatu, terdapat  tiga hal yang oleh Ullmann (1972:57) diusulkan istilah: name, sense, dan thing. 
Soal makna terdapat dalam sense, dan ada hubungan timbal balik antara nama dengan pengertian sense. Apabila seseorang mendengar kata tertentu, ia dapat membayangkan bendanya atau sesuatu yang diacu, dan apabila seseorang  membayangkan sesuatu, ia segera dapat mengatakan pengertiannya itu. Hubungan antara nama dengan pengertian, itulah yang disebut makna. Acuan  tidak disebut-sebut oleh karena menurut Ullmann (1972:57), acuan berada diluar jangkauan linguis. Jika seseorang menafsirkan makna sebuah lambang, berarti ia memikirkan sebagaimana mestinya tentang lambang tersebut; yakni suatu keinginan untuk menghasilkan jawaban tertentu dengan kondisi-kondisi tertentu pula. Dengan mengetahui makna kata, baik pembicara, pendengar, penulis, maupun pembaca yang menggunakan, mendengar atau membaca lambang-lambang berdasarkan sistem bahasa tertentu, percaya tentang apa yang dibicarakan, didengar, atau dibaca.(Stevenson dalam Chaer,2003:52)
Linguistik modern mempelajari makna dari segi kajiannya terhadap sekumpulan karakter dan spesifikasi bahasa yang terjadi dalam perpistiwa yang dipelajari. Hal ini tidak dipelajari dalam sekali waktu, namun harus melewati beberapa tahapan yang berbeda yaitu : level Šoutiyah ( fonologi ), level Šarfiyyah (morfologi), level naĥwiyah, level mu’jamiyyah (leksikal) dan level siyaqiyah. Ini dikarenakan makna adalah sesuatu yan dihasilkan oleh masing-masing level bahasa tersebut. Sedangkan tujuan dari suatu naskah adalah memperlihatkan sebuah makna tertentu.[6]

2.      Batasan Makna
Dalam buku “The Meaning of Meaning”, Ogden dan Richards, telah memperbincangkan meaning / makna dengan panjang lebar. Batasan-batasan makna, makna adalah:[7]
1.      Suatu sifat intrinsik.
2.      Suatu hubungan khas yang tidak teranalisis dengan hal-hal/ benda-benda lain.
3.       Kata-kata lain yang digabungkan dengan sebuah kata dalam kamus.
4.      Konotasi suatu kata.
5.      Suatu esensi, intisari pokok.
6.      Suatu kegiatan yang diproyeksikan ke dalam suatu objek.
7.      Tempat atau wadah sesuatu dalam suatu sistem.
8.      Konsekuensi-konsekuensi praktis suatu hal atau benda dalam pengalaman masa depan kita.
9.      Konsekuensi-konsekuensi teoritis yang terlibat atau terkandung dalam suatu pernyataan.
10.  Emosi yang ditimbulkan oleh sesuatu.
11.  Yang secara aktual berhubungan dengan suatu tanda oleh suatu   hubungan tertentu.
12.  Wadah, tempat pemakai suatu lambang harus mengacukan diri. Wadah, tempat pemakai sesuatu lambang meyakini dirinya diacukan
13.  Wadah, tempat penafsir suatu lambing.
Sedangkan menurut Muhammad Dawud, beberapa unsur penting yang mempengaruhi dalam pembatasan makna adalah:
1)      Makna Wadhifī ( Makna Fungsional )
Adalah makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya sebuah leksem di dalam kalimat. Makna ini muncul sebagai akibat adanya teori fungsional.
Teori Fungsional ini dipelopori oleh Haliday dan Wilkins. Teori ini mengkaji tentang perubahan yangberlaku pada struktur bahasa ketika seseorang sedang berkomunikasi. Teori ini juga menganggap bahwa bahasa adalah sebagai alat perhubungan antara masyarakat dan sangat mementingkan aspeksemantik iaitu makna kata. Pengukuhan bahasa boleh berlaku secara verbal dan non-verbal.Penggunaan bahasa juga dapat menggambarkan fikiran dan emosi penutur tersebut. Teori ini turut memberi perhatian kepada fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. Aspek yang ditekankan ialahperubahan yang berlaku pada bentuk bahasa ketika seseorang itu berkomunikasi. Teori ini berkembang pada tahun 1960-an dan 1970-an. Ahli-ahli bahasa fungsional yaitu Halliday danWilkins, bukan sahaja mengkaji bahasa dari segi struktur malahan mereka juga memberikan perhatianterhadap fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. Kajian bahasa bukan semata-mata tertumpu kepada bentuk-bentuk bahasa bahkan juga terhadap perubahan-perubahan yang berlaku pada bentuk-bentuk bahasa ketika seseorang itu berkomunikasi. Halliday menganggap bahasa sebagai alat perhubungan. Teori ini sangat mementingkan aspek semantik. Kajian bahasa bukan setakat struktur tetapi fungsinyasebagai alat komunikasi. Ahli-ahli bahasa fungsional mempunyai anggapan tertentu tentang bahasa,antara lainnya ialah sistem bahasa yang digunakan oleh masyarakat untuk berkomunikasi bukanmerupakan satu sistem yang tertutup dan statik sebaliknya terbuka dan dinamis. Seterusnya, asaselemen-elemen dalam struktur bahasa ialah semantik dan bukannya hubungan sintaksis. Oleh sebabbahasa tidak statik, maka terdapat variasi dalam penggunaan bahasa. Kemudian, variasi bahasa initimbul disebabkan tuntutan sesuatu situasi sosial. Sebagai alat perhubungan, fungsi bahasa bukansetakat untuk menggambarkan fikiran tetapi juga dapat menggambarkan penuturnya.[8]
Menurut Muhammad Dawud ada tiga pembahasan yang terkait dengan pembahasan makna fungsional, yaitu:
a)      Makna Sautiyyah ( Fonologi )
Penjelasan tentang pembatasan makna berdasarkan pada ciri suara tertentu, baik pada level leksikal maupun semantik. Contoh makna fungsional yang diambil dari makna sautiyyah yaitu membedakan beberapa kata dimana masing-masing perubahan fonem menyebabkan perubahan makna secara langsung maupun tidak lansung. [9]
Perubahan secara langsung contohnya makna leksikal قال  kita rubah satuan fonem ق  dengan fonem lain ن misalnya, sehingga akan menjadi kata نال , maka akan terjadi perbedaan makna yang jelas antara dua kata tersebut dalam level leksikal ( mu’jami ).
Ada kalanya perubahan fonem menyebabkan perubahan makna secara tidak langsung, hal ini terjadi ketika satuan fonem itu mempengaruhi satuan morfem maka hal itu akan berpengaruh pula terhadap makna. Contoh: hamzah ( أ ), merubah fi’il lazim menjadi muta’addi, misalnya فَهِمَ menjadi أفهم.
Demikian juga intonasi mempunyai peran yang penting dalam membedakan maksud antar kalimat. Dengan intonasi kita dapat membedakan anatara kalimat pernyataan dan pertanyaan.
b)      Makna Sharfiyyah ( Morfem )
Satuan morfem mempengaruhi makna secara langsung. Contohnya perbedaan makna shighah isim fail dan makna isim maf’ul. Keduanya berbeda dalam makna shighah mubalaghah “ قائل, مقول, قوّال “ ini pada level mu’jami.
Sebagaimana bentuk morfem mempengaruhi susunan kalimat, maka hal itu juga mempengaruhimakna nahwiyyah yang selanjutnya mempengaruhi makna umum. Misalnya fi’il lazim yang cukup dengan subyeknya saja, ketika kita menggunakan shighah fi’il muta’addi  maka fi’il tersebut memerlukan obyek dan tidak cukup hanya dengan subyeknya saja. Hal ini akan membawa perbedaan makna yang cukup jelas antara fi’il lazim dan muta’addi. Contoh: قام محمد ( Muhammad berdiri ), أقام محمد ندوة ( Muhammad mengadakan seminar ).

c)      Makna Nahwiyyah
Makna nahwiyyah terkait dengan perubahan posisi kata dalam kalimat. Berubahnya fungsi nahwiyyah menyebabkan perubahan makna. Misalnya dalam kalimat : الرجل يعاتب المرأة ( laki-laki itu menyalahkan perempuan ) berbeda dengan makna dalam kalimat المرأة تعاتب الرجل ( perempuan itu menyalahkan Laki-laki. Perubahan makna ini muncul karena adanya perubahan posisi kata, artinya perubahan fungsi nahwiyyah.
Makna fungsional dengan tiga bentuknya tadi ( fonem, morfem dan nahwiyyah ) merupakan makna bagian analisis yang diletakkan untuk mengikat dan mengatur. Sedangkan unsur-unsur morfem diletakkan untuk kaidah-kaidah sharaf sebagaimana unsur-unsur nahwu untuk kaidah-kaidah nahwiyyah.[10]

2)      Makna Mu’jami ( Makna Leksikal )
Makna Leksikal adalah makna leksem ketika leksem tersebut berdiri sendiri, baik dalam bentuk dasar maupun bentuk derivasi dan maknanya kurang lebih tetap seperti yang terdapat dalam kamus.[11]
Makna leksikal mengacu pada makna lambang kebahasaan yang bersifat leksem atau makna yang sesuai dengan referensinya. Misal kata tikus dalam kalimat “ Banyak tanaman padi diserang tikus” (tikus mengacu pada binatang). Tetapi kata tikus dalam kalimat “ kita perlu membasmi tikus-tikus yang banyak bercokol di instansi pemerintah agar tercipta aparatur negara yang bersih dan berwibawa”, bukanlah makna leksikal.
Makna leksikal suatu leksem itu terdapat dalam leksem yang berdiri sendiri. Dikatakan demikian (berdiri sendiri) sebab makna sebuah leksem dapat berubah apabila leksem tersebut berada di dalam kalimat. Dengan demikian ada leksem-leksem yang tidak memiliki makna leksikal. Kata-kata seperti dan, dengan, jika, yang dapat digolongkan sebagai form words tidak mempunyai makna leksikal.[12]
3)      Makna Siyaqi (Kontekstual)
Makna kontekstual muncul sebagai akibat hubungan antara ujaran dan situasi pada waktu ujaran dipakai. Dalam suasana kegembiraan dan kedukaan atau kesedihan tentu akan mempengaruhi pemilihan dan penggunaan leksem-leksem. Pada situasi kesedihan akan digunakan leksem-leksem yang bermakna ikut berduka cita, leksem-leksem yang menggambarkan rasa ikut belasungkawa. Demikian pula sebaliknya, pada situasi gembira ria tentu akan digunakan leksem-leksem yang menunjukkan bahwa kita ikut merasakan kegembiraan tersebut. Makna kontekstual adalah makna kata yang sesuai dengan konteksnya.[13]

3.      Jenis-jenis Makna
Menurut Chaer (1994), makna dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang. Berdasarkan jenis semantiknya, dapat dibedakan antara makna leksikal dan makna gramatikal, berdasarkan ada atau tidaknya referen pada sebuah kata atau leksem dapat dibedakan adanya makna referensial dan makna nonreferensial, berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata/leksem dapat dibedakan adanya makna denotatif dan makna konotatif, berdasarkan ketepatan maknanya dikenal makna kata dan makna istilah atau makna umum dan makna khusus.[14]
A.    Makna Leksikal dan Makna Gramatikal
Leksikal adalah bentuk adjektif yang diturunkan dari bentuk nomina leksikon. Satuan dari leksikon adalah leksem, yaitu satuan bentuk bahasa yang bermakna. Kalau leksikon kita samakan dengan kosakata atau perbendaharaan kata, maka leksem dapat kita persamakan dengan kata. Dengan demikian, makna leksikal dapat diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem, atau bersifat kata. Lalu, karena itu, dapat pula dikatakan makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita (Chaer, 1994). Umpamanya kata tikus makna leksikalnya adalah sebangsa binatang pengerat yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit tifus. Makna ini tampak jelas dalam kalimat Tikus itu mati diterkam kucing, atau Panen kali ini gagal akibat serangan hama tikus.
Kemudian, Djajasudarma berpendapat (1999:13) makna leksikal (lexical meaning, semantic meaning, external meaning) adalah makna unsur bahasa sebagai lambang benda, peristiwa da lain-lain.[15] Sejalan dengan itu, menurut Sutedi (2003:106) bahwa makna leksikal adalah makna kata yang sesungguhnya sesuai dengan referensinya sebagai hasil pengamatan indera dan terlepas dari unsur gramatikalnya. Makna leksikal dalam bahasa Jepang disebut dengan jishoteki-imi atau goiteki-imi.[16]
Makna leksikal biasanya dipertentangkan dengan makna gramatikal. Kalau makna leksikal berkenaan dengan makna leksem atau kata yang sesuai dengan referennya, maka makna gramatikal ini adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatika seperti proses afiksasi, proses reduplikasi, dan proses komposisi (Chaer, 1994). Proses afiksasi awalan ter- pada kata angkat dalam kalimat Batu seberat itu terangkat juga oleh adik, melahirkan makna ’dapat’, dan dalam kalimat Ketika balok itu ditarik, papan itu terangkat ke atas melahirkan makna gramatikal ’tidak sengaja’.

B.     Makna Referensial dan Nonreferensial
Referen menurut Palmer adalah hubungan antara unsur-unsur linguistik berupa kata-kata, kalimat-kalimat dan dunia pengalaman nonlinguistik. Referen atau acuan dapat diartikan berupa benda, peristiwa, proses atau kenyataan. Referen adalah sesuatu yangditunjuk oleh suatu lambang. Makna referensial mengisyaratkan tentang makna yamg langsung menunjuk pada sesuatu, baik benda, gejala, kenyataan, peristiwa maupun proses.
Makna referensial menurut uraian di atas dapat diartikan sebagai makna yang langsung berhubungan dengan acuan yang ditunjuk oleh kata atau ujaran. Dapat juga dikatakan bahwa makna referensial merupakan makna unsur bahasa yanga dekat hubungannya dengan dunia luar bahasa, baik berupa objek konkret atau gagasan yang dapat dijelaskan melalui analisis komponen.
Perbedaan makna referensial dan makna nonreferensial berdasarkan ada tidak adanya referen dari kata-kata itu. Bila kata-kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu di luar bahasa yang diacu oleh kata itu, maka kata tersebut disebut kata bermakna referensial. Kalau kata-kata itu tidak mempunyai referen, maka kata itu disebut kata bermakna nonreferensial. Kata meja termasuk kata yang bermakna referensial karena mempunyai referen, yaitu sejenis perabot rumah tangga yang disebut ’meja’. Sebaliknya kata karena tidak mempunyai referen, jadi kata karena termasuk kata yang bermakna nonreferensial.[17]
C.     Makna Denotatif dan Konotatif
Makna denotatif pada dasarnya sama dengan makna referensial sebab makna denotatif lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya. Jadi, makna denotatif ini menyangkut informasi-informasi faktual objektif. Oleh karena itu, makna denotasi sering disebut sebagai ’makna sebenarnya’(Chaer, 1994). Umpama kata perempuan dan wanita kedua kata itu mempunyai dua makna yang sama, yaitu ’manusia dewasa bukan laki-laki’.
Sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata itu mempunyai ”nilai rasa”, baik positif maupun negatif. Jika tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan tidak memiliki konotasi. Tetapi dapat juga disebut berkonotasi netral. Makna konotatif dapat juga berubah dari waktu ke waktu. Misalnya kata ceramah dulu kata ini berkonotasi negatif karena berarti ’cerewet’, tetapi sekarang konotasinya positif.
Makna konotatif muncul sebagai akibat asosiasi perasaan kita terhadap apa yang diucapkan atau didengar. Misalnya, pada kalimat Anita menjadi bunga desa. Kata nunga dalam kalimat tersebut bukan berarti sebagai bunga di taman melainkan menjadi idola di desanya sebagai akibat kondisi fisiknya atau kecantikannya. Kata bunga yang ditambahkan dengan salah satu unsur psikologis fisik atau sosial yang dapat dihubungkan dengan kedudukan yang khusus dalam masyarakat, dapat menumbuhkan makna negatif.
D.    Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Leech (1976) membagi makna menjadi makna konseptual dan makna asosiatif. Yang dimaksud dengan makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari konteks atau asosiasi apa pun. Kata kuda memiliki makna konseptual ’sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai’. Jadi makna konseptual sesungguhnya sama saja dengan makna leksikal, makna denotatif, dan makna referensial.
Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada di luar bahasa. Misalnya, kata melati berasosiasi dengan sesuatu yang suci atau kesucian.
E.     Makna Idiomatikal dan Peribahasa
Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat ”diramalkan” dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Contoh dari idiom adalah bentuk membanting tulang dengan makna ’bekerja keras’, meja hijau dengan makna ’pengadilan’.
Berbeda dengan idiom, peribahasa memiliki makna yang masih dapat ditelusuri atau dilacak dari makna unsur-unsurnya karena adanya ”asosiasi” antara makna asli dengan maknanya sebagai peribahasa. Umpamanya peribahasa Seperti anjing dengan kucing yang bermakna ’dikatakan ihwal dua orang yang tidak pernah akur’. Makna ini memiliki asosiasi, bahwa binatang yang namanya anjing dan kucing jika bersua memang selalu berkelahi, tidak pernah damai.
F.      Makna Kias
Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan istilah arti kiasan digunakan sebagai oposisi dari arti sebenarnya. Oleh karena itu, semua bentuk bahasa (baik kata, frase, atau kalimat) yang tidak merujuk pada arti sebenarnya (arti leksikal, arti konseptual, atau arti denotatif) disebut mempunyai arti kiasan. Jadi, bentuk-bentuk seperti puteri malam dalam arti ’bulan’, raja siang dalam arti ’matahari’.[18]

4.      Relasi Makna
Suatu kata merupakan hubungan satu sama lain dalam berbagai bentuk. Hal ini merupakan akibat dari kandungan komponen makna yang kompleks. Ada beberapa hubungan semantis (antar makna) yang memperlihatkan adanya persamaan, pertentangan, tumpang tindih, dan sebagainya. Relasi makna sendiri memiliki arti hubungan kemaknaan antara satuan bahasa yang satu dengan yang lain.
disebut relasi makna. Relasi makna dapat berwujud macam-macam. Berikut ini diuraikan beberapa wujud relasi makna.


A.  Sinonimi
Secara semantik Verhaar (1978) mendefinisikan sinonimi sebagai ungkapan (bisa berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanuya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain. Umpamanya kata buruk dan jelek adalah du buah kata yang bersinonim; bunga, kembang, dan puspa adalah tiga kata yang yang bersinonim. Hubungan makna antara dua buah kata yang bersinonim bersifat dua arah. Namun, dua buah kata yang bersinonim itu; kesamaannya tidak seratus persen, hanya kurang lebih saja. Kesamaannya tidak bersifat mutlak.[19]
Sedangkan dalam bahasa arab istilah sinonim dikenal dengan at-taroduf, الترادف, yang pengertianya adalah:
الترادف : هو عبارة عن وجود كلمتين فاكثر لها دلالة واحدة
Sinonim (Al-Taraduf) adalah dua kata atau lebih yang maknanya kurang lebih sama. Dikatakan “kurang lebih” karena memang, tidak akan ada dua kata berlainan yang maknanya persis sama.

            Sedangkan menurut Ya’qub, الترادف Ialah:
مااختلف لفظه واتفق معناه, او هو اطلاق عدة كلمات علي مدلول واحد
Artinya: “Berbeda arti pada satu lafas, Atau Beragam lafas tapi satu makna”.
          Menurut Umar:
الترادف و هو ان يدل اكثر من لفظ علي معني واحد
Artinya: “sinonim adalah banyak lafaz tapi satu arti”.
Seperti kata maqha yang bersinonimi dengan kata qahfi, yang keduanya memiliki arti yang sama, yaitu ‘kafe’. Dikatakan utuh karena tidak ada perbedaan antara kedua kata tersebut secara makna. Hanya saja qahfi, merupakan bentuk arabisasi (ta’rib) dari kafe.
Kafe مَقْهَى = قَهْفِي =
Dikatakan utuh karena tidak ada perbedaan antara kedua kata itu secara makna. “Beberapa kata yang memiliki kemiripan makna tapi bunyi pelafalannya berbeda.”
Sedangkan menurut Umar (1999: 30-57), sinonimi dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu:
1.      Sinonimi utuh (at-taraduf-al-kamil)
Seperti kata maqha yang bersinonimi dengan kata qahfi, yang keduanya memiliki arti yang sama, yaitu ‘kafe’. Dikatakan utuh karena tidak ada perbedaan antara kedua kata tersebut secara makna. Hanya saja qahfi, merupakan bentuk arabisasi (ta’rib) dari kafe.
Kafe مَقْهَى = قَهْفِي =
Dikatakan utuh karena tidak ada perbedaan antara kedua kata itu secara makna.
2.      Kuasi sinonimi (syibh al-taraduf)
Misalnya pada kata sanah, ‘am yang memiliki kesamaan arti yaitu, tahun.
Tahunسَنَةٌ = عَامٌ =
Dikatakan semi karena sulit menemukan perbedaannya. Hanya para ahli saja yang bisa membedakannya secara mendalam.
3.      Kedekatan makna (at-taqarub ad-dilali)
Seperti pada kata hilm, ru’ya yang memiliki kesamaan arti yaitu, mimpi. Keduanya berhubungan dengan makan ‘mimpi’, hanya saja hilm merupakan makna umum, sementara ru’ya, cenderung bermakna mimpi indah.
Mimpi حِلْمٌ = رُؤْيَا =
= رُؤْيَا mimpi yang indah
  حِلْمٌ = mimpi dalam makna umum
  Toko = دُكَّانٌ = حَانُوْت    
  حَانُوْتٌ = warung
دُكَّانٌ = kedai
 مَاتَ = تُوُفِّي       
تُوُفِّي = meninggal
مَاتَ = mati
B.                       Antonimi dan Oposisi
Secara semantik Verhaar (1978) mendefenisikan antonimi sebagai: Ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi dapat pula dalam bentuk frase atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain. Misalnya kata bagus yang berantonimi dengan kata buruk; kata besar berantonimi dengan kata kecil.
Sama halnya dengan sinonim, antonim pun tidak bersifat mutlak. Itulah sebabnya dalam batasan di atas, Verhaar menyatakan ”…yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain” Jadi, hanya dianggap kebalikan. Bukan mutlak berlawanan.
Sehubungan dengan ini banyak pula yang menyebutnya oposisi makna. Dengan istilah oposisi, maka bisa tercakup dari konsep yang betul-betul berlawanan sampai kepada yang bersifat kontras saja. Kata hidup dan mati, mungkin bisa menjadi contoh yang berlawanan; tetapi hitam dan putih mungkin merupakan contoh yang hanya berkontras.
Fromkin dan Rodman (1998:166) mendefinisikan antonimi sebagai hubungan perlawanan antar makna. Bila sinonimi lebih mengacu pada perhubungan makna yang bertalian dengan kesamaan makna, maka antonimi lebih cenderung pada perhubungan makna yang bertalian dengan perlawanan makna.
Mereka membagi perlawanan makna ini ke dalam empat pembagian, yaitu: [20]
1.      Perlawanan makna yang seakan-akan dunia terbelah menjadi dua (complementary), bisa disebut juga oposisi mutlak.
Contoh:
مَوْتٌ >< حَيَاةٌ
hidup >< mati
 kata maut ‘kematian’ berlawanan makna dengan hayat ‘kehidupan’
2.      Perlawanan makna bertingkat (gradable)
Contoh:
Mahir ‘mahir’, mutawassith ‘menengah’, mubtadi ‘pemula’.
Harr ‘panas’, saakhin ‘hangat’, barid ‘dingin’.
3.       Perlawanan makna timbal balik (converse)
Contoh:
زَوْجٌ  ><    زَوْجَةٌ
 suami >< isteri
 رَجُلٌ >< إِمْرَأَةٌ
laki-laki >< perempuan
بَاعَ >< اشْتَرَى
Menjual >< membeli
غَنِيٌّ  >< فَقِيْرٌ
Kaya >< miskin
كَبِيْرٌ ><  صَغِيْرٌ
Besar >< kecil


4.      Perlawanan makna berhubungan dengan gerak dan arah (reserve)
Contoh:
Fauq ‘atas’ >< taht ‘bawah’
Yamin ‘kanan’ >< syimal ‘kiri’

C.       Homonimi, Homofoni, dan Homografi
Homonimi adalah ‘relasi makna antar kata yang ditulis sama atau dilafalkan sama, tetapi maknanya berbeda’. Kata-kata yang ditulis sama tetapi maknanya berbeda disebut homograf, sedangkan yang dilafalkan sama tetapi berbeda makna disebut homofon. Contoh homograf adalah kata tahu (makanan) yang berhomografi dengan kata tahu (paham), sedang kata masa (waktu) berhomofoni dengan massa (jumlah besar yang menjadi satu kesatuan).
Bentuk yang identik, tapi berbeda makna. Jadi homonimi adalah beberapa kata yang mempunyai kesamaan bentuk dan pelafalan tetapi maknanya berbeda.
Jadi, homonimi adalah beberapa kata yang mempunyai kesamaan bentuk dan pelafalan tetapi maknanya berbeda.
Contoh:    ضَرَبَ
(1) memukul
                        (2) mengepung
                        (3) memikat
(4) menentukan       
                                                                         ضَرَبَ مُحَمَّدٌ كَلْبَهُ بِالْعَصَا
                                                            الجُنُوْدُ يَضْرِبُوْنَ عَدُوَّهُمْ فِيْ الحَرْبِ

Pada kalimat dharaba Muhammad kalbahu bil-‘asha (Muhammad memukul anjingnya dengan tongkat), pada kata dharaba memiliki arti memukul. Namun lain halnya dengan kata dharaba pada kalimat al-junudu yadhribuna ‘aduwwahum fil harbi (tentara mengepung musuhnya dalam perang), di sini dharaba diartikan mengepung, bukan memukul. Sehingga kita dapat menyimpulkan arti dari kata tersebut dengan melihat konteks kalimat.

D.    Hiponimi dan Hipernimi
Hiponimi adalah ‘relasi makna yang berkaitan dengan peliputan makna spesifik dalam makna generis, seperti makna anggrek dalam makna bunga, makna kucing dalam makna binatang’. Anggrek, mawar, dan tulip berhiponimi dengan bunga, sedangkan kucing, kambing, dan kuda berhiponimi dengan binatang.  Bunga merupakan superordinat (hipernimi, hiperonim) bagi anggrek, mawar, dan tulip, sedangkan binatang menjadi superordinat bagi kucing, kambing, dan kuda.

E.        Polisemi
Polisemi lazim diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frase) yang memiliki makna lebih dari satu. Umpamanya kata kepala dalam bahasa Indonesia memiliki makna (1) bagian tubuh dari leher ke atas; (2) bagian dari suatu yang terletak disebelah atas atau depan merupakan hal yang penting atau terutama seperti pada kepala susu, kepala meja, dan kepala kereta api; (3) bagian dari suatu yang berbentuk bulat seperti kepala, seperti pada kepala paku dan kepala jarum; (4) pemimpin atau ketua seperti pada kepala sekolah, kepala kantor, dan kepala stasiun; (5) jiwa atau orang seperti dalam kalimat Setiap kepala menerima bantuan Rp 5000,-.; dan (6) akal budi seperti dalam kalimat, Badannya besar tetapi kepalanya kosong.
Fromkin dan Rodman (1998:164), memberikan penjelasan tentang polisemi, yaitu suatu kata yang memiliki banyak makna yang saling berhubungan secara konseptual atau secara historis. Jadi, polisemi merupakan satu kata yang digunakan untuk berbagai keperluan tapi masih berhubungan dalam maknanya.
Contoh:
- رَائِسٌ  = (1) ketua
                        (2) pokok
                        (3) utama
                        (4) pimpinan
                        (5) presiden
                        (6) pemimpin
Kata rais memiliki banyak arti yang sesuai dengan keperluannya masing-masing. Kata itu bisa diartikan ketua maupun pokok utama. Polisemi tumbuh akibat dari faktor kesejarahan dan faktor perluasan makna.

F.        Ambiguitas
Ambiguitas atau ketaksaab sering diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti. Kegandaan makna dalam ambiguitas berasal dari satuan gramatikal yang lebih besar, yaitu frase atau kalimat dan terjadi sebagai akibat penafsiran struktur gramatikal yang berbeda. Umpamanya frase buku sejarah baru dapat ditafsirkan sebagai (1) buku sejarah itu baru terbit, (2) buku itu berisi sejarah zaman baru.

G.    Redundansi
Istilah redundansi sering diartikan sebagai ’berlebih-lebihan pemakaian unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran’. Umpamanya kalimat Bola ditendang Si Badrih, maknanya tidak akan berubah bila dikatakan Bola ditendang oleh Si Badrih. Pemakaian kata oleh pada kalimat kedua dianggap sebagai sesuatu yang redundansi, yang berlebih-lebihan dan sebenarnya tidak perlu.

H.       Meronimi
Meronimi adalah ’relasi makna yang memiliki kemiripan dengan hiponimi karena relasi maknanya bersifat hierarkis, namun tidak menyiratkan pelibatan searah, tetapi merupakan relasi makna bagian dengan keseluruhan’. Contohnya adalah atap bermeronimi dengan rumah.

I.          Makna Asosiatif
Makna asosiatif merupakan asosiasi yang muncul dalam benak seseorang jika mendengar kata tertentu. Asosiasi ini dipengaruhi unsur-unsur psikis, pengetahuan dan pengalaman seseorang. Oleh karena itu, makna asosiatif terutama dikaji bidang psikolinguistik. Makna denotatif villa adalah ’rumah peristirahatan di luar kota’. Selain makna denotatif  itu, bagi kebanyakan orang Indonesia villa juga mengandung makna asosiatif  ’gunung’, ’alam’, ’pedesaan’, ’sungai’, bergantung pada pengalaman seseorang.

J.          Makna Afektif
Makna afektif berkaitan dengan perasaan seseorang jika mendengar atau membaca kata tertentu. Perasaan yang muncul dapat positif atau negatif. Kata jujur, rendah hati, dan bijaksana menimbulkan makna afektif yang positif, sedangkan korupsi dan kolusi menimbulkan makna afektif  yang negatif.

K.    Makna Etimologis
Makna etimologis berbeda dengan makna leksikal karena berkaitan dengan asal-usul kata dan perubahan makna kata dilihat dari aspek sejarah kata. Makna etimologis suatu kata mencerminkan perubahan yang terjadi dengan kata tertentu. Melalui perubahan makna kata, dapat ditelusuri perubahan nilai, norma, keadaan sosial-politik, dan keadaan ekonomi suatu masyarakat.[21]
BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan
Kata semantik berasal dari bahasa Yunani sema yang artinya tanda atau lambang (sign). “Semantik” pertama kali digunakan oleh seorang filolog Perancis bernama Michel Breal pada tahun 1883. Kata semantik kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari tentang tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa: fonologi, gramatika, dan semantik (Chaer, 1994: 2).
Bahasa senantiasa bergerak dinamis mengikuti setiap perubahan perkembangan zaman. Fungsi utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi. Sering terjadi perbedaan devinisi makna dari suatu bahasa yang ada. Maka lahirlah sebuah cabang ilmu yang memusatkan perhatiannya pada seputar masalah tentang makna, yaitu semantik.
Menurut Muhammad Dawud, unsur penting yang mempengaruhi dalam pembatasan makna adalah:
a.    Makna Wadhifi
b.   Makna Mu’jami ( Makna Leksikal )
c.    Makna Siyaqi
2.      Saran
Demikianlah sekelumit informasi yang berhasil pemakalah himpun tentang makna dan adanya perbedaan-perbedaan tentang nya. Pemakalah yakin bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kata sempurna, oleh karena itu pemakalah berharap berkenan kiranya para pembaca untuk memberikan saran dan kritikan demi terwujudnya makalah yang lebih baik



DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 1994. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Dawud,Muhammad Muhammad, Al-‘Arabiyyah wa ‘Ilmu Al-Lughah Al-Hadits,  Kairo : Dar Gharib, 2001
Djajasudarma, Fathimah. 1999. Semantik 2: Pemahaman Makna. Bandung: Refika Aditama.
Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Muhammad Muhammad Dawud, 2001.  Al-‘Arabiyyah wa ‘Ilmu Al-Lughah Al-Hadits, ( Kairo : Dar Gharib)
Rizal mustansyir, FILSAFAT BAHASA Aneka Masalah Arti dan Upaya Pemecahannya, Jakarta: PT.PRIMA KARYA, 1988
Suwandi, Sarwiji, SEMANTIK (Pengantar Kajian Makna), Yogyakarta: Media Perkasa, 2008
http://DASAR-DASAR SEMANTIK-semantik.blospot.com35r66g3 (disarikan dari Suparno Dan Oka,).html













[2] Sarwiji Suwandi, SEMANTIK (Pengantar Kajian Makna), ( Yogyakarta: Media Perkasa, 2008 ), hal.45
[3] Chaer, Abdul. 1994. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

[6] Muhammad Muhammad Dawud, Al-‘Arabiyyah wa ‘Ilmu Al-Lughah Al-Hadits, ( Kairo : Dar Gharib, 2001 ), hal. 181
[7] Sarwiji Suwandi, SEMANTIK (Pengantar Kajian Makna), ( Yogyakarta: Media Perkasa, 2008 ), hal.45-46.

[9] ibid, Sarwiji Suwandi hal. 69
[10] Opcit, Muhammad Muhammad Dawudhal. 182-183
[11] Djajasudarma, Fathimah. Semantik 2: Pemahaman Makna. (Bandung: Refika Aditama. 1999).hal 37
[12] Opcit, Sarwiji Suwandi hal. 69-70
[13] Ibid., hal.71-72.
[14] Chaer, Abdul. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta. 1994.
[15] Djajasudarma, Fathimah. Semantik 2: Pemahaman Makna. (Bandung: Refika Aditama. 1999).hal 38
[17] Rizal mustansyir, FILSAFAT BAHASA Aneka Masalah Arti dan Upaya Pemecahannya, Jakarta: (PT.PRIMA KARYA, 1988), hal 4
[21] http://DASAR-DASAR SEMANTIK-semantik.blospot.com (disarikan dari Suparno Dan Oka,).html