SEPUTAR
MAKNA BAHASA
Diajukanuntukmemenuhitugasmatakuliah
“IsuKebahasaanKontemporer”
oleh:
Ferki Ahmad Marlion 21150120000020
DOSEN
PEMBIMBING :
Prof.
Dr. Aziz Fahrurozi, MA.
PROGRAM
MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI
SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015
BAB
I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Masalah
Bahasa merupakan sesuatu yang tidak
dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan peradaban manusia. Ia senantiasa
bergerak dinamis mengikuti setiap perubahan perkembangan zaman. Fungsi utama
bahasa adalah sebagai alat komunikasi antara individu dengan segala sesuatu
yang ada disekelilingnya. Sebagai alat komunikasi tentu saja ada suatu maksud
yang ingin disampaikan. Untuk mengetahui maksud seorang pengguna bahasa,
seseorang harus mengerti makna yang terkandung dalam bahasa yang digunakan
tersebut. Namun dalam kenyataannya, sering terjadi perbedaan devinisi makna
dari suatu bahasa yang ada. Berangkat dari sisnilah akhirnya lahir sebuah
cabang ilmu yang memusatkan perhatiannya pada seputar masalah tentang makna,
yaitu semantik.
Dalam
analisis semantik juga harus disadari, karena bahasa itu bersifat unik, dan
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan masalah budaya maka, analisis suatu
bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja, tetapi tidak dapat digunakan untuk
menganalisis bahasa lain. Umpamanya, kata ikan dalam bahasa Indonesia
merujuk pada jenis binatang yang hidup dalam air dan biasa dimakan sebagai
lauk; dan dalam bahasa Inggris separan dengan fish. Tetapi kata iwak
dalam bahasa Jawa bukan hanya berarti ‘ikan’ atau ‘fish’, melainkan juga
berarti daging yang digunakan sebagai lauk.
Banyak devinisi tentang makna yang
dikemukakan oleh pakarnya. Ada yang berpendapat bahwa makna adalah konsep
abstrak pengalaman manusia, tetapi bukanlah pengalaman orang per orang (I Dewa
Putu Wijaya, Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, 1999). Pendapat lain
mengatakan bahwa makna adalah ‘pengertian’ atau ‘konsep’ yang dimiliki
atau terdapat pada sebuah tanda linguistik. Makna itu adalah pengertian atau
konsep yang dimiliki oleh setiap morfem, baik yang disebut dasar atau morfem
afiks (Ferdinand De Sausure, 1989:287)[1].
2.
Rumusan Masalah
A.
Konsep dan pengertian makna.
B.
Batasan Makna.
C.
Jenis- jenis Makna.
D.
Relasi makna.
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Makna
Ada
dua cabang utama linguistik yang khusus menyangkut kata yaitu etimologi,
studi tentang asal usul kata, dan semantik atau ilmu makna, studi
tentang makna kata. Di antara kedua ilmu itu, etimologi sudah merupakan
disiplin ilmu yang lama mapan (established), sedangkan semantik relatif
merupakan hal yang baru.[2]
Kata
semantik berasal dari bahasa Yunani sema yang artinya tanda atau
lambang (sign). “Semantik” pertama kali digunakan oleh seorang filolog Perancis
bernama Michel Breal pada tahun 1883. Kata semantik kemudian disepakati sebagai
istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari tentang
tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Oleh karena itu, kata
semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu
salah satu dari tiga tataran analisis bahasa: fonologi, gramatika, dan semantik
(Chaer, 1994: 2).[3]
Pengertian dari makna
sendiri sangatlah beragam. Mansoer Pateda mengemukakan bahwa istilah makna
merupakan kata-kata dan istilah yang membingungkan. Makna tersebut selalu
menyatu pada tuturan kata maupun kalimat.[4]
Menurut
teori yang dikembangkan dari pandangan Ferdinand de Saussure, makna adalah
’pengertian’ atau ’konsep’ yang dimiliki atau terdapat pada sebuah
tanda-linguistik. Menurut de Saussure, setiap tanda linguistik terdiri dari dua
unsur, yaitu (1) yang diartikan (Perancis: signifie, Inggris: signified)
dan (2) yang mengartikan (Perancis: signifiant, Inggris: signifier).
Yang diartikan (signifie, signified) sebenarnya tidak lain dari
pada konsep atau makna dari sesuatu tanda-bunyi. Sedangkan yang mengartikan
(signifiant atau signifier) adalah bunyi-bunyi yang terbentuk dari fonem-fonem
bahasa yang bersangkutan. Dengan kata lain, setiap tanda-linguistik terdiri
dari unsur bunyi dan unsur makna. Kedua unsur ini adalah unsur dalam-bahasa
(intralingual) yang biasanya merujuk atau mengacu kepada sesuatu referen yang
merupakan unsur luar-bahasa (ekstralingual).[5]
Di dalam buku The Meaning of
meaning (Ogden dan Richards, 1972:186-187) telah dikumpulkan tidak kurang
dari 22 batasan mengenai makna. Bagi orang awam, untuk memahami makna kata
tertentu ia dapat mencari kamus sebab di dalam kamus terdapat makna yang
disebut makna leksikal. Dalam kehidupan sehari-hari orang sulit menerapkan makna yang terdapat di
dalam kamus, sebab makna sebuah kata
sering bergeser jika berada dalam satuan kalimat. Dengan kata lain setiap kata
kadang-kadang mempunyai makna luas. Itu sebabnya kadang-kadang orang tidak puas
dengan makna kata yang tertera di dalam kamus. Hal-hal ini muncul jika orang
bertemu atau berhadapan dengan idiom, gaya bahasa, metafora, peribahasa, dan
ungkapan.
Telah disinggung bahwa inti
persoalan yang dikaji di dalam semantik, ialah makna. Lyonsn(1977:400)
mengatakan, ” Semantics may be defined,
initially and provisionally, as the study of meaning.” – ilmu yang mengkaji makna.
Untuk itu setelah dibahas tentang istilah makna, ada baiknya dikemukakan
batasan makna.
Di dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Depdikbud, 2005:619) kata
makna diartikan: (i) arti: ia memperhatikan makna setiap kata yang
terdapat dalam tulisan kuno itu, (ii) maksud pembicara atau penulis, (iii)
pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan. Telah diketahui bahwa
kalau seseorang memperkatakan sesuatu, terdapat
tiga hal yang oleh Ullmann (1972:57) diusulkan istilah: name, sense, dan
thing.
Soal makna terdapat dalam sense, dan
ada hubungan timbal balik antara nama dengan pengertian sense. Apabila
seseorang mendengar kata tertentu, ia dapat membayangkan bendanya atau sesuatu
yang diacu, dan apabila seseorang
membayangkan sesuatu, ia segera dapat mengatakan pengertiannya itu.
Hubungan antara nama dengan pengertian, itulah yang disebut makna. Acuan tidak disebut-sebut oleh karena menurut
Ullmann (1972:57), acuan berada diluar jangkauan linguis. Jika seseorang
menafsirkan makna sebuah lambang, berarti ia memikirkan sebagaimana mestinya
tentang lambang tersebut; yakni suatu keinginan untuk menghasilkan jawaban
tertentu dengan kondisi-kondisi tertentu pula. Dengan mengetahui makna kata,
baik pembicara, pendengar, penulis, maupun pembaca yang menggunakan, mendengar
atau membaca lambang-lambang berdasarkan sistem bahasa tertentu, percaya
tentang apa yang dibicarakan, didengar, atau dibaca.(Stevenson dalam
Chaer,2003:52)
Linguistik modern mempelajari makna
dari segi kajiannya terhadap sekumpulan karakter dan spesifikasi bahasa yang
terjadi dalam perpistiwa yang dipelajari. Hal ini tidak dipelajari dalam sekali
waktu, namun harus melewati beberapa tahapan yang berbeda yaitu : level Šoutiyah
( fonologi ), level Šarfiyyah (morfologi), level naĥwiyah,
level mu’jamiyyah (leksikal) dan level siyaqiyah. Ini dikarenakan
makna adalah sesuatu yan dihasilkan oleh masing-masing level bahasa tersebut.
Sedangkan tujuan dari suatu naskah adalah memperlihatkan sebuah makna tertentu.[6]
2.
Batasan
Makna
Dalam buku “The Meaning of Meaning”,
Ogden dan Richards, telah memperbincangkan meaning / makna dengan panjang
lebar. Batasan-batasan makna, makna
adalah:[7]
1.
Suatu sifat intrinsik.
2.
Suatu hubungan khas yang tidak teranalisis
dengan hal-hal/ benda-benda lain.
3.
Kata-kata lain yang digabungkan dengan sebuah
kata dalam kamus.
4.
Konotasi suatu kata.
5.
Suatu esensi, intisari pokok.
6.
Suatu kegiatan yang diproyeksikan ke dalam
suatu objek.
7.
Tempat atau wadah sesuatu dalam suatu sistem.
8.
Konsekuensi-konsekuensi praktis suatu hal atau
benda dalam pengalaman masa depan kita.
9.
Konsekuensi-konsekuensi teoritis yang terlibat
atau terkandung dalam suatu pernyataan.
10. Emosi
yang ditimbulkan oleh sesuatu.
11. Yang
secara aktual berhubungan dengan suatu tanda oleh suatu hubungan
tertentu.
12. Wadah,
tempat pemakai suatu lambang harus mengacukan diri. Wadah, tempat pemakai
sesuatu lambang meyakini dirinya diacukan
13. Wadah,
tempat penafsir suatu lambing.
Sedangkan menurut Muhammad Dawud, beberapa
unsur penting yang mempengaruhi dalam pembatasan makna adalah:
1)
Makna Wadhifī ( Makna Fungsional
)
Adalah makna yang muncul sebagai akibat
berfungsinya sebuah leksem di dalam kalimat. Makna ini muncul sebagai akibat
adanya teori fungsional.
Teori Fungsional ini dipelopori oleh Haliday
dan Wilkins. Teori ini mengkaji tentang perubahan yangberlaku pada struktur
bahasa ketika seseorang sedang berkomunikasi. Teori ini juga menganggap bahwa
bahasa adalah sebagai alat perhubungan antara masyarakat dan sangat
mementingkan aspeksemantik iaitu makna kata. Pengukuhan bahasa boleh berlaku
secara verbal dan non-verbal.Penggunaan bahasa juga dapat menggambarkan fikiran
dan emosi penutur tersebut. Teori ini turut memberi perhatian kepada fungsi
bahasa sebagai alat komunikasi. Aspek yang ditekankan ialahperubahan yang
berlaku pada bentuk bahasa ketika seseorang itu berkomunikasi. Teori ini
berkembang pada tahun 1960-an dan 1970-an. Ahli-ahli bahasa fungsional yaitu
Halliday danWilkins, bukan sahaja mengkaji bahasa dari segi struktur malahan
mereka juga memberikan perhatianterhadap fungsi bahasa sebagai alat komunikasi.
Kajian bahasa bukan semata-mata tertumpu kepada bentuk-bentuk bahasa bahkan
juga terhadap perubahan-perubahan yang berlaku pada bentuk-bentuk bahasa ketika
seseorang itu berkomunikasi. Halliday menganggap bahasa sebagai alat
perhubungan. Teori ini sangat mementingkan aspek semantik. Kajian bahasa bukan
setakat struktur tetapi fungsinyasebagai alat komunikasi. Ahli-ahli bahasa
fungsional mempunyai anggapan tertentu tentang bahasa,antara lainnya ialah
sistem bahasa yang digunakan oleh masyarakat untuk berkomunikasi bukanmerupakan
satu sistem yang tertutup dan statik sebaliknya terbuka dan dinamis.
Seterusnya, asaselemen-elemen dalam struktur bahasa ialah semantik dan bukannya
hubungan sintaksis. Oleh sebabbahasa tidak statik, maka terdapat variasi dalam
penggunaan bahasa. Kemudian, variasi bahasa initimbul disebabkan tuntutan
sesuatu situasi sosial. Sebagai alat perhubungan, fungsi bahasa bukansetakat
untuk menggambarkan fikiran tetapi juga dapat menggambarkan penuturnya.[8]
Menurut Muhammad Dawud ada tiga
pembahasan yang terkait dengan pembahasan makna fungsional, yaitu:
a) Makna Sautiyyah
( Fonologi )
Penjelasan tentang pembatasan makna
berdasarkan pada ciri suara tertentu, baik pada level leksikal maupun semantik.
Contoh makna fungsional yang diambil dari makna sautiyyah yaitu
membedakan beberapa kata dimana masing-masing perubahan fonem menyebabkan
perubahan makna secara langsung maupun tidak lansung. [9]
Perubahan secara langsung contohnya
makna leksikal قال kita rubah satuan fonem ق dengan fonem lain ن misalnya,
sehingga akan menjadi kata نال , maka akan terjadi perbedaan makna yang jelas antara dua kata
tersebut dalam level leksikal ( mu’jami ).
Ada kalanya perubahan fonem
menyebabkan perubahan makna secara tidak langsung, hal ini terjadi ketika
satuan fonem itu mempengaruhi satuan morfem maka hal itu akan berpengaruh pula
terhadap makna. Contoh: hamzah ( أ ), merubah fi’il lazim menjadi muta’addi,
misalnya فَهِمَ menjadi أفهم.
Demikian juga intonasi mempunyai
peran yang penting dalam membedakan maksud antar kalimat. Dengan intonasi kita
dapat membedakan anatara kalimat pernyataan dan pertanyaan.
b) Makna Sharfiyyah
( Morfem )
Satuan morfem mempengaruhi makna
secara langsung. Contohnya perbedaan makna shighah isim fail dan makna isim
maf’ul. Keduanya berbeda dalam makna shighah mubalaghah “ قائل, مقول, قوّال “
ini pada level mu’jami.
Sebagaimana bentuk morfem
mempengaruhi susunan kalimat, maka hal itu juga mempengaruhimakna nahwiyyah
yang selanjutnya mempengaruhi makna umum. Misalnya fi’il lazim yang
cukup dengan subyeknya saja, ketika kita menggunakan shighah fi’il muta’addi
maka fi’il tersebut memerlukan obyek dan tidak cukup hanya dengan
subyeknya saja. Hal ini akan membawa perbedaan makna yang cukup jelas antara
fi’il lazim dan muta’addi. Contoh: قام محمد ( Muhammad berdiri ), أقام محمد ندوة (
Muhammad mengadakan seminar ).
c) Makna Nahwiyyah
Makna nahwiyyah terkait dengan
perubahan posisi kata dalam kalimat. Berubahnya fungsi nahwiyyah menyebabkan
perubahan makna. Misalnya dalam kalimat : الرجل يعاتب
المرأة ( laki-laki itu
menyalahkan perempuan ) berbeda dengan makna dalam kalimat المرأة تعاتب الرجل (
perempuan itu menyalahkan Laki-laki. Perubahan makna ini muncul karena adanya
perubahan posisi kata, artinya perubahan fungsi nahwiyyah.
Makna fungsional dengan tiga
bentuknya tadi ( fonem, morfem dan nahwiyyah ) merupakan makna bagian analisis
yang diletakkan untuk mengikat dan mengatur. Sedangkan unsur-unsur morfem
diletakkan untuk kaidah-kaidah sharaf sebagaimana unsur-unsur nahwu untuk
kaidah-kaidah nahwiyyah.[10]
2)
Makna Mu’jami ( Makna Leksikal )
Makna Leksikal adalah makna leksem ketika
leksem tersebut berdiri sendiri, baik dalam bentuk dasar maupun bentuk derivasi
dan maknanya kurang lebih tetap seperti yang terdapat dalam kamus.[11]
Makna leksikal mengacu pada makna lambang
kebahasaan yang bersifat leksem atau makna yang sesuai dengan referensinya.
Misal kata tikus dalam kalimat “ Banyak tanaman padi diserang tikus”
(tikus mengacu pada binatang). Tetapi kata tikus dalam kalimat “ kita perlu
membasmi tikus-tikus yang banyak bercokol di instansi pemerintah agar tercipta
aparatur negara yang bersih dan berwibawa”, bukanlah makna leksikal.
Makna leksikal suatu leksem itu terdapat dalam
leksem yang berdiri sendiri. Dikatakan demikian (berdiri sendiri) sebab makna
sebuah leksem dapat berubah apabila leksem tersebut berada di dalam kalimat.
Dengan demikian ada leksem-leksem yang tidak memiliki makna leksikal. Kata-kata
seperti dan, dengan, jika, yang dapat digolongkan sebagai form words
tidak mempunyai makna leksikal.[12]
3)
Makna Siyaqi (Kontekstual)
Makna kontekstual muncul sebagai akibat
hubungan antara ujaran dan situasi pada waktu ujaran dipakai. Dalam suasana
kegembiraan dan kedukaan atau kesedihan tentu akan mempengaruhi pemilihan dan
penggunaan leksem-leksem. Pada situasi kesedihan akan digunakan leksem-leksem
yang bermakna ikut berduka cita, leksem-leksem yang menggambarkan rasa ikut
belasungkawa. Demikian pula sebaliknya, pada situasi gembira ria tentu akan
digunakan leksem-leksem yang menunjukkan bahwa kita ikut merasakan kegembiraan
tersebut. Makna kontekstual adalah makna kata yang sesuai dengan konteksnya.[13]
3.
Jenis-jenis
Makna
Menurut
Chaer (1994), makna dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut
pandang. Berdasarkan jenis semantiknya, dapat dibedakan antara makna leksikal
dan makna gramatikal, berdasarkan ada atau tidaknya referen pada sebuah kata
atau leksem dapat dibedakan adanya makna referensial dan makna nonreferensial,
berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata/leksem dapat dibedakan
adanya makna denotatif dan makna konotatif, berdasarkan ketepatan maknanya
dikenal makna kata dan makna istilah atau makna umum dan makna khusus.[14]
A.
Makna Leksikal dan Makna Gramatikal
Leksikal
adalah bentuk adjektif yang diturunkan dari bentuk nomina leksikon. Satuan dari
leksikon adalah leksem, yaitu satuan bentuk bahasa yang bermakna. Kalau
leksikon kita samakan dengan kosakata atau perbendaharaan kata, maka leksem
dapat kita persamakan dengan kata. Dengan demikian, makna leksikal dapat
diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem, atau bersifat
kata. Lalu, karena itu, dapat pula dikatakan makna leksikal adalah makna yang
sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indera,
atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita (Chaer, 1994).
Umpamanya kata tikus makna leksikalnya adalah sebangsa binatang pengerat yang
dapat menyebabkan timbulnya penyakit tifus. Makna ini tampak jelas dalam
kalimat Tikus itu mati diterkam kucing, atau Panen kali ini gagal
akibat serangan hama tikus.
Kemudian,
Djajasudarma berpendapat (1999:13) makna leksikal (lexical meaning, semantic
meaning, external meaning) adalah makna unsur bahasa sebagai lambang benda,
peristiwa da lain-lain.[15]
Sejalan dengan itu, menurut Sutedi (2003:106) bahwa makna leksikal adalah makna
kata yang sesungguhnya sesuai dengan referensinya sebagai hasil pengamatan
indera dan terlepas dari unsur gramatikalnya. Makna leksikal dalam bahasa
Jepang disebut dengan jishoteki-imi atau goiteki-imi.[16]
Makna
leksikal biasanya dipertentangkan dengan makna gramatikal. Kalau makna leksikal
berkenaan dengan makna leksem atau kata yang sesuai dengan referennya, maka
makna gramatikal ini adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses
gramatika seperti proses afiksasi, proses reduplikasi, dan proses komposisi
(Chaer, 1994). Proses afiksasi awalan ter- pada kata angkat dalam kalimat Batu
seberat itu terangkat juga oleh adik, melahirkan makna ’dapat’, dan dalam
kalimat Ketika balok itu ditarik, papan itu terangkat ke atas melahirkan
makna gramatikal ’tidak sengaja’.
B.
Makna Referensial dan Nonreferensial
Referen menurut Palmer
adalah hubungan antara unsur-unsur linguistik berupa kata-kata, kalimat-kalimat
dan dunia pengalaman nonlinguistik. Referen atau acuan dapat diartikan berupa
benda, peristiwa, proses atau kenyataan. Referen adalah sesuatu yangditunjuk
oleh suatu lambang. Makna referensial mengisyaratkan tentang makna yamg
langsung menunjuk pada sesuatu, baik benda, gejala, kenyataan, peristiwa maupun
proses.
Makna referensial menurut
uraian di atas dapat diartikan sebagai makna yang langsung berhubungan dengan
acuan yang ditunjuk oleh kata atau ujaran. Dapat juga dikatakan bahwa makna
referensial merupakan makna unsur bahasa yanga dekat hubungannya dengan dunia
luar bahasa, baik berupa objek konkret atau gagasan yang dapat dijelaskan
melalui analisis komponen.
Perbedaan
makna referensial dan makna nonreferensial berdasarkan ada tidak adanya referen
dari kata-kata itu. Bila kata-kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu di luar
bahasa yang diacu oleh kata itu, maka kata tersebut disebut kata bermakna referensial.
Kalau kata-kata itu tidak mempunyai referen, maka kata itu disebut kata
bermakna nonreferensial. Kata meja termasuk kata yang bermakna
referensial karena mempunyai referen, yaitu sejenis perabot rumah tangga yang
disebut ’meja’. Sebaliknya kata karena tidak mempunyai referen, jadi
kata karena termasuk kata yang bermakna nonreferensial.[17]
C.
Makna Denotatif dan Konotatif
Makna
denotatif pada dasarnya sama dengan makna referensial sebab makna denotatif
lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi
menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya.
Jadi, makna denotatif ini menyangkut informasi-informasi faktual objektif. Oleh
karena itu, makna denotasi sering disebut sebagai ’makna sebenarnya’(Chaer,
1994). Umpama kata perempuan dan wanita kedua kata itu mempunyai
dua makna yang sama, yaitu ’manusia dewasa bukan laki-laki’.
Sebuah
kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata itu mempunyai ”nilai rasa”,
baik positif maupun negatif. Jika tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan
tidak memiliki konotasi. Tetapi dapat juga disebut berkonotasi netral. Makna
konotatif dapat juga berubah dari waktu ke waktu. Misalnya kata ceramah
dulu kata ini berkonotasi negatif karena berarti ’cerewet’, tetapi sekarang
konotasinya positif.
Makna konotatif muncul
sebagai akibat asosiasi perasaan kita terhadap apa yang diucapkan atau
didengar. Misalnya, pada kalimat Anita menjadi bunga desa. Kata nunga
dalam kalimat tersebut bukan berarti sebagai bunga di taman melainkan menjadi
idola di desanya sebagai akibat kondisi fisiknya atau kecantikannya. Kata bunga
yang ditambahkan dengan salah satu unsur psikologis fisik atau sosial yang
dapat dihubungkan dengan kedudukan yang khusus dalam masyarakat, dapat
menumbuhkan makna negatif.
D.
Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Leech
(1976) membagi makna menjadi makna konseptual dan makna asosiatif. Yang
dimaksud dengan makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem
terlepas dari konteks atau asosiasi apa pun. Kata kuda memiliki makna
konseptual ’sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai’. Jadi makna
konseptual sesungguhnya sama saja dengan makna leksikal, makna denotatif, dan
makna referensial.
Makna
asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata berkenaan dengan
adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada di luar bahasa. Misalnya,
kata melati berasosiasi dengan sesuatu yang suci atau kesucian.
E.
Makna Idiomatikal dan Peribahasa
Idiom
adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat ”diramalkan” dari makna
unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Contoh dari
idiom adalah bentuk membanting tulang dengan makna ’bekerja keras’, meja
hijau dengan makna ’pengadilan’.
Berbeda
dengan idiom, peribahasa memiliki makna yang masih dapat ditelusuri atau
dilacak dari makna unsur-unsurnya karena adanya ”asosiasi” antara makna asli
dengan maknanya sebagai peribahasa. Umpamanya peribahasa Seperti anjing
dengan kucing yang bermakna ’dikatakan ihwal dua orang yang tidak pernah
akur’. Makna ini memiliki asosiasi, bahwa binatang yang namanya anjing dan
kucing jika bersua memang selalu berkelahi, tidak pernah damai.
F.
Makna Kias
Dalam
kehidupan sehari-hari, penggunaan istilah arti kiasan digunakan sebagai oposisi
dari arti sebenarnya. Oleh karena itu, semua bentuk bahasa (baik kata, frase,
atau kalimat) yang tidak merujuk pada arti sebenarnya (arti leksikal, arti
konseptual, atau arti denotatif) disebut mempunyai arti kiasan. Jadi,
bentuk-bentuk seperti puteri malam dalam arti ’bulan’, raja siang
dalam arti ’matahari’.[18]
4.
Relasi
Makna
Suatu kata merupakan hubungan satu sama lain dalam
berbagai bentuk. Hal ini merupakan akibat dari kandungan komponen makna yang
kompleks. Ada beberapa hubungan semantis (antar makna) yang memperlihatkan
adanya persamaan, pertentangan, tumpang tindih, dan sebagainya. Relasi makna
sendiri memiliki arti hubungan kemaknaan antara satuan bahasa yang satu dengan
yang lain.
disebut
relasi makna. Relasi makna dapat berwujud macam-macam. Berikut ini diuraikan
beberapa wujud relasi makna.
A. Sinonimi
Secara
semantik Verhaar (1978) mendefinisikan sinonimi sebagai ungkapan (bisa berupa
kata, frase, atau kalimat) yang maknanuya kurang lebih sama dengan makna
ungkapan lain. Umpamanya kata buruk dan jelek adalah du buah kata yang
bersinonim; bunga, kembang, dan puspa adalah tiga kata yang yang bersinonim.
Hubungan makna antara dua buah kata yang bersinonim bersifat dua arah. Namun,
dua buah kata yang bersinonim itu; kesamaannya tidak seratus persen, hanya
kurang lebih saja. Kesamaannya tidak bersifat mutlak.[19]
Sedangkan dalam bahasa arab istilah sinonim dikenal
dengan at-taroduf, الترادف, yang
pengertianya adalah:
الترادف : هو عبارة عن وجود كلمتين فاكثر لها دلالة واحدة
Sinonim (Al-Taraduf) adalah dua kata atau lebih yang maknanya kurang lebih
sama. Dikatakan “kurang lebih” karena memang, tidak akan ada dua kata berlainan
yang maknanya persis sama.
Sedangkan menurut Ya’qub, الترادف Ialah:
مااختلف لفظه واتفق
معناه, او هو اطلاق عدة كلمات علي مدلول واحد
Artinya: “Berbeda arti pada satu lafas, Atau Beragam lafas tapi satu
makna”.
Menurut Umar:
الترادف و هو ان يدل
اكثر من لفظ علي معني واحد
Artinya: “sinonim
adalah banyak lafaz tapi satu arti”.
Seperti kata maqha
yang bersinonimi dengan kata qahfi, yang keduanya memiliki arti yang
sama, yaitu ‘kafe’. Dikatakan utuh karena tidak ada perbedaan antara kedua kata
tersebut secara makna. Hanya saja qahfi, merupakan bentuk arabisasi (ta’rib)
dari kafe.
Kafe مَقْهَى =
قَهْفِي =
Dikatakan utuh karena
tidak ada perbedaan antara kedua kata itu secara makna. “Beberapa kata yang
memiliki kemiripan makna tapi bunyi pelafalannya berbeda.”
Sedangkan menurut Umar
(1999: 30-57), sinonimi dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu:
1.
Sinonimi utuh (at-taraduf-al-kamil)
Seperti kata maqha
yang bersinonimi dengan kata qahfi, yang keduanya memiliki arti yang
sama, yaitu ‘kafe’. Dikatakan utuh karena tidak ada perbedaan antara kedua kata
tersebut secara makna. Hanya saja qahfi, merupakan bentuk arabisasi (ta’rib)
dari kafe.
Kafe مَقْهَى =
قَهْفِي =
Dikatakan utuh karena
tidak ada perbedaan antara kedua kata itu secara makna.
2.
Kuasi sinonimi (syibh al-taraduf)
Misalnya pada kata sanah,
‘am yang memiliki kesamaan arti yaitu, tahun.
Tahunسَنَةٌ = عَامٌ
=
Dikatakan semi karena
sulit menemukan perbedaannya. Hanya para ahli saja yang bisa membedakannya
secara mendalam.
3.
Kedekatan makna (at-taqarub ad-dilali)
Seperti pada kata hilm,
ru’ya yang memiliki kesamaan arti yaitu, mimpi. Keduanya berhubungan
dengan makan ‘mimpi’, hanya saja hilm merupakan makna umum, sementara ru’ya,
cenderung bermakna mimpi indah.
Mimpi حِلْمٌ = رُؤْيَا =
= رُؤْيَا mimpi yang indah
حِلْمٌ =
mimpi dalam makna umum
Toko = دُكَّانٌ = حَانُوْت
حَانُوْتٌ =
warung
دُكَّانٌ =
kedai
مَاتَ =
تُوُفِّي
تُوُفِّي =
meninggal
مَاتَ =
mati
B.
Antonimi dan Oposisi
Secara
semantik Verhaar (1978) mendefenisikan antonimi sebagai: Ungkapan (biasanya
berupa kata, tetapi dapat pula dalam bentuk frase atau kalimat) yang maknanya
dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain. Misalnya kata bagus yang
berantonimi dengan kata buruk; kata besar berantonimi dengan kata
kecil.
Sama
halnya dengan sinonim, antonim pun tidak bersifat mutlak. Itulah sebabnya dalam
batasan di atas, Verhaar menyatakan ”…yang maknanya dianggap kebalikan dari
makna ungkapan lain” Jadi, hanya dianggap kebalikan. Bukan mutlak berlawanan.
Sehubungan
dengan ini banyak pula yang menyebutnya oposisi makna. Dengan istilah oposisi,
maka bisa tercakup dari konsep yang betul-betul berlawanan sampai kepada yang
bersifat kontras saja. Kata hidup dan mati, mungkin bisa menjadi
contoh yang berlawanan; tetapi hitam dan putih mungkin merupakan
contoh yang hanya berkontras.
Fromkin dan Rodman
(1998:166) mendefinisikan antonimi sebagai hubungan perlawanan antar makna.
Bila sinonimi lebih mengacu pada perhubungan makna yang bertalian dengan
kesamaan makna, maka antonimi lebih cenderung pada perhubungan makna yang
bertalian dengan perlawanan makna.
Mereka membagi perlawanan
makna ini ke dalam empat pembagian, yaitu: [20]
1.
Perlawanan makna yang seakan-akan dunia terbelah menjadi
dua (complementary), bisa disebut juga oposisi mutlak.
Contoh:
مَوْتٌ ><
حَيَاةٌ
hidup >< mati
kata maut ‘kematian’ berlawanan makna dengan hayat
‘kehidupan’
2.
Perlawanan makna bertingkat (gradable)
Contoh:
Mahir ‘mahir’, mutawassith ‘menengah’, mubtadi ‘pemula’.
Harr ‘panas’, saakhin ‘hangat’, barid ‘dingin’.
3.
Perlawanan makna timbal
balik (converse)
Contoh:
زَوْجٌ ><
زَوْجَةٌ
suami >< isteri
رَجُلٌ ><
إِمْرَأَةٌ
laki-laki >< perempuan
بَاعَ ><
اشْتَرَى
Menjual >< membeli
غَنِيٌّ ><
فَقِيْرٌ
Kaya >< miskin
كَبِيْرٌ ><
صَغِيْرٌ
Besar >< kecil
4.
Perlawanan makna berhubungan dengan gerak dan arah
(reserve)
Contoh:
Fauq ‘atas’ >< taht ‘bawah’
Yamin ‘kanan’ >< syimal ‘kiri’
C. Homonimi,
Homofoni, dan Homografi
Homonimi
adalah ‘relasi makna antar kata yang ditulis sama atau dilafalkan sama, tetapi
maknanya berbeda’. Kata-kata yang ditulis sama tetapi maknanya berbeda disebut
homograf, sedangkan yang dilafalkan sama tetapi berbeda makna disebut homofon.
Contoh homograf adalah kata tahu (makanan) yang berhomografi dengan kata tahu
(paham), sedang kata masa (waktu) berhomofoni dengan massa (jumlah besar yang
menjadi satu kesatuan).
Bentuk yang identik, tapi
berbeda makna. Jadi homonimi adalah beberapa kata yang mempunyai kesamaan
bentuk dan pelafalan tetapi maknanya berbeda.
Jadi, homonimi adalah
beberapa kata yang mempunyai kesamaan bentuk dan pelafalan tetapi maknanya
berbeda.
Contoh: ضَرَبَ
(1) memukul
(2) mengepung
(3) memikat
(4)
menentukan
ضَرَبَ مُحَمَّدٌ كَلْبَهُ بِالْعَصَا
الجُنُوْدُ يَضْرِبُوْنَ عَدُوَّهُمْ فِيْ الحَرْبِ
Pada kalimat dharaba
Muhammad kalbahu bil-‘asha (Muhammad memukul anjingnya dengan tongkat),
pada kata dharaba memiliki arti memukul. Namun lain halnya dengan kata dharaba
pada kalimat al-junudu yadhribuna ‘aduwwahum fil harbi (tentara
mengepung musuhnya dalam perang), di sini dharaba diartikan mengepung,
bukan memukul. Sehingga kita dapat menyimpulkan arti dari kata tersebut dengan
melihat konteks kalimat.
D. Hiponimi
dan Hipernimi
Hiponimi
adalah ‘relasi makna yang berkaitan dengan peliputan makna spesifik dalam makna
generis, seperti makna anggrek dalam makna bunga, makna kucing dalam makna
binatang’. Anggrek, mawar, dan tulip berhiponimi dengan bunga, sedangkan
kucing, kambing, dan kuda berhiponimi dengan binatang. Bunga merupakan
superordinat (hipernimi, hiperonim) bagi anggrek, mawar, dan tulip, sedangkan
binatang menjadi superordinat bagi kucing, kambing, dan kuda.
E.
Polisemi
Polisemi
lazim diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frase) yang
memiliki makna lebih dari satu. Umpamanya kata kepala dalam bahasa Indonesia
memiliki makna (1) bagian tubuh dari leher ke atas; (2) bagian dari suatu yang
terletak disebelah atas atau depan merupakan hal yang penting atau terutama
seperti pada kepala susu, kepala meja, dan kepala kereta api;
(3) bagian dari suatu yang berbentuk bulat seperti kepala, seperti pada kepala
paku dan kepala jarum; (4) pemimpin atau ketua seperti pada kepala
sekolah, kepala kantor, dan kepala stasiun; (5) jiwa atau
orang seperti dalam kalimat Setiap kepala menerima bantuan Rp 5000,-.;
dan (6) akal budi seperti dalam kalimat, Badannya besar tetapi kepalanya
kosong.
Fromkin dan Rodman
(1998:164), memberikan penjelasan tentang polisemi, yaitu suatu kata yang
memiliki banyak makna yang saling berhubungan secara konseptual atau secara
historis. Jadi, polisemi merupakan satu kata yang digunakan untuk berbagai
keperluan tapi masih berhubungan dalam maknanya.
Contoh:
- رَائِسٌ =
(1) ketua
(2) pokok
(3) utama
(4) pimpinan
(5) presiden
(6) pemimpin
Kata rais memiliki
banyak arti yang sesuai dengan keperluannya masing-masing. Kata itu bisa
diartikan ketua maupun pokok utama. Polisemi tumbuh akibat dari faktor
kesejarahan dan faktor perluasan makna.
F.
Ambiguitas
Ambiguitas
atau ketaksaab sering diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua
arti. Kegandaan makna dalam ambiguitas berasal dari satuan gramatikal yang
lebih besar, yaitu frase atau kalimat dan terjadi sebagai akibat penafsiran
struktur gramatikal yang berbeda. Umpamanya frase buku sejarah baru
dapat ditafsirkan sebagai (1) buku sejarah itu baru terbit, (2) buku itu berisi
sejarah zaman baru.
G. Redundansi
Istilah
redundansi sering diartikan sebagai ’berlebih-lebihan pemakaian unsur segmental
dalam suatu bentuk ujaran’. Umpamanya kalimat Bola ditendang Si Badrih,
maknanya tidak akan berubah bila dikatakan Bola ditendang oleh Si Badrih.
Pemakaian kata oleh pada kalimat kedua dianggap sebagai sesuatu yang
redundansi, yang berlebih-lebihan dan sebenarnya tidak perlu.
H. Meronimi
Meronimi
adalah ’relasi makna yang memiliki kemiripan dengan hiponimi karena relasi
maknanya bersifat hierarkis, namun tidak menyiratkan pelibatan searah, tetapi
merupakan relasi makna bagian dengan keseluruhan’. Contohnya adalah atap
bermeronimi dengan rumah.
I.
Makna Asosiatif
Makna
asosiatif merupakan asosiasi yang muncul dalam benak seseorang jika mendengar
kata tertentu. Asosiasi ini dipengaruhi unsur-unsur psikis, pengetahuan dan
pengalaman seseorang. Oleh karena itu, makna asosiatif terutama dikaji bidang
psikolinguistik. Makna denotatif villa adalah ’rumah peristirahatan di luar
kota’. Selain makna denotatif itu, bagi kebanyakan orang Indonesia villa
juga mengandung makna asosiatif ’gunung’, ’alam’, ’pedesaan’, ’sungai’,
bergantung pada pengalaman seseorang.
J.
Makna Afektif
Makna
afektif berkaitan dengan perasaan seseorang jika mendengar atau membaca kata
tertentu. Perasaan yang muncul dapat positif atau negatif. Kata jujur, rendah
hati, dan bijaksana menimbulkan makna afektif yang positif, sedangkan korupsi
dan kolusi menimbulkan makna afektif yang negatif.
K. Makna
Etimologis
Makna
etimologis berbeda dengan makna leksikal karena berkaitan dengan asal-usul kata
dan perubahan makna kata dilihat dari aspek sejarah kata. Makna etimologis
suatu kata mencerminkan perubahan yang terjadi dengan kata tertentu. Melalui
perubahan makna kata, dapat ditelusuri perubahan nilai, norma, keadaan
sosial-politik, dan keadaan ekonomi suatu masyarakat.[21]
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Kata semantik berasal dari
bahasa Yunani sema yang artinya tanda atau lambang (sign). “Semantik”
pertama kali digunakan oleh seorang filolog Perancis bernama Michel Breal pada
tahun 1883. Kata semantik kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan
untuk bidang linguistik yang mempelajari tentang tanda-tanda linguistik dengan
hal-hal yang ditandainya. Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan
sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga
tataran analisis bahasa: fonologi, gramatika, dan semantik (Chaer, 1994: 2).
Bahasa senantiasa bergerak dinamis
mengikuti setiap perubahan perkembangan zaman. Fungsi utama bahasa adalah
sebagai alat komunikasi. Sering terjadi perbedaan devinisi makna dari suatu
bahasa yang ada. Maka lahirlah sebuah cabang ilmu yang memusatkan perhatiannya
pada seputar masalah tentang makna, yaitu semantik.
Menurut Muhammad Dawud, unsur penting yang
mempengaruhi dalam pembatasan makna adalah:
a.
Makna Wadhifi
b.
Makna Mu’jami ( Makna Leksikal )
c.
Makna Siyaqi
2.
Saran
Demikianlah sekelumit informasi yang berhasil
pemakalah himpun tentang makna dan adanya perbedaan-perbedaan tentang nya.
Pemakalah yakin bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kata sempurna, oleh
karena itu pemakalah berharap berkenan kiranya para pembaca untuk memberikan
saran dan kritikan demi terwujudnya makalah yang lebih baik
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta:
Rineka Cipta.
Chaer,
Abdul. 1994. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Dawud,Muhammad Muhammad, Al-‘Arabiyyah wa
‘Ilmu Al-Lughah Al-Hadits, Kairo : Dar Gharib, 2001
Djajasudarma, Fathimah. 1999. Semantik 2: Pemahaman
Makna. Bandung: Refika Aditama.
Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Muhammad
Muhammad Dawud, 2001. Al-‘Arabiyyah
wa ‘Ilmu Al-Lughah Al-Hadits, ( Kairo : Dar Gharib)
Rizal mustansyir, FILSAFAT BAHASA Aneka
Masalah Arti dan Upaya Pemecahannya, Jakarta: PT.PRIMA KARYA, 1988
Suwandi, Sarwiji, SEMANTIK (Pengantar
Kajian Makna), Yogyakarta: Media Perkasa, 2008
http://DASAR-DASAR
SEMANTIK-semantik.blospot.com35r66g3 (disarikan dari Suparno Dan Oka,).html
http://pustakasastraarab.blogspot.com/2015/08/seputarmakna_05.html#0mjmGyczqe95S71g.99
diakses pada agustus 2015
http://citraindonesiaku.blogspot.com2015makna-semantik-dan-semiotik.html
diases pada tanggal 15 oktober 2015
[1] http://citraindonesiaku.blogspot.com2015makna-semantik-dan-semiotik.html Diakses pada
tanggal 15 Agustus 2015
[2] Sarwiji
Suwandi, SEMANTIK (Pengantar Kajian Makna), ( Yogyakarta: Media Perkasa, 2008
), hal.45
[4] http://citraindonesiaku.blogspot.com2015makna-semantik-dan-semiotik.html. Diakses pada
tanggal 15 oktober 2015
[6] Muhammad
Muhammad Dawud, Al-‘Arabiyyah wa ‘Ilmu Al-Lughah Al-Hadits, ( Kairo :
Dar Gharib, 2001 ), hal. 181
[7] Sarwiji
Suwandi, SEMANTIK (Pengantar Kajian Makna), ( Yogyakarta: Media Perkasa, 2008
), hal.45-46.
[8] http://citraindonesiaku.blogspot.com2015makna-semantik-dan-semiotik.html diases pada
tanggal 15 oktober 2015
[9] ibid,
Sarwiji Suwandi hal. 69
[10] Opcit,
Muhammad Muhammad Dawudhal. 182-183
[12] Opcit, Sarwiji
Suwandi hal. 69-70
[13] Ibid.,
hal.71-72.
[16] http://citraindonesiaku.blogspot.com2015makna-semantik-dan-semiotik.html diases pada
tanggal 15 oktober 2015
[17] Rizal
mustansyir, FILSAFAT BAHASA Aneka Masalah Arti dan Upaya Pemecahannya,
Jakarta: (PT.PRIMA KARYA, 1988), hal 4
[18] Read
more at http://pustakasastraarab.blogspot.com/2015/08/seputar-makna_05.html#0mjmGyczqe95S71g.99 diakses pada
agustus 2015
Bagus, thanks sudah berbagi
BalasHapus